Skip to main content

Bahasa adalah identitas diri, tapi kok..?!

Di era globalisasi membuat pengaruh bahasa-bahasa yang berasal dari luar daerah masyarakat setempat mudah masuk dan juga 'diadopsi' oleh masyarakat setempat dalam komunikasi sehari-hari untuk menambah nilai diri seseorang, contohnya saja bahasa Inggris. Oleh karena itu, hal inilah yang membuat semakin banyak orang-orang memulai mempelajari bahasa asing baik untuk tuntutan kerjaan, sekolah dll sehingga sekarang ini memungkinkan seseorang untuk menguasai lebih dari satu bahasa asing di luar bahasa ibunya. Namun di sisi lain, saat ini banyak sekali istilah asing yang digunakan sebagai tanda atau rambu di tempat umum, seperti sekolah, rumah sakit, mall, jalan raya dan lainnya. Para pembuat peraturan cenderung lebih memilih untuk menggunakan bahasa Inggris dibanding dengan bahasa Indonesia. Kalau pun ada bahasa Indonesianya itu hanyalah sebagai terjemahan dari tanda yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Tapi sadarkah kalian kalau tanda yang dibuat itu untuk memberitahukan suatu informasi? Jika pesan tersebut disampaikan dalam bahasa yang asing dengan masyarakat setempat bagaimana pesan tersebut bisa sampai kepada pembaca pesan tersebut? Kecuali tanda-tanda yang menggunakan bahasa Inggris tersebut hanya tertuju pada penutur asli bahasa Inggris saja ya masih masuk akal. Bahasa digunakan oleh manusia sebagai alat untuk berkomunikasi. Komunikasi dapat berhasil jika kedua penutur dapat saling mengerti apa maksud yang ingin disampaikan. Selain itu, bahasa asing yang dijadikan sebagai tanda (misal: "Sorry, for your inconvenience.", "This building is under construction.", "CAUTION, wet floor".) dan bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari tanda tersebut secara langsung mengindikasikan bahwa penutur asing lebih penting dibanding masyarakat kita sendiri yang berbahasa Indonesia. Mungkin banyak orang-orang yang tidak menyadari masalah ini padahal masalah ini sangatlah penting. Bahasa adalah identitas diri. Jika posisi bahasa asing lebih diutamakan berarti ya kita menerima identitas kita lebih rendah dari bahasa tersebut. Sadar atau tidak kita sudah 'terjajah' secara tidak langsung. Ya, ini menurut pandangan saya pribadi ya mungkin ada juga yang berpendapat lain. Saya tidak begitu suka dan merasa heran jika melihat tanda dalam bahasa asing dan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya. Tanda tersebut dipasang di negara yang penutur bahasanya adalah berbahasa Indonesia, mengapa bahasa yang digunakan tidak ditulis dalam bahasa Indonesia dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa asing lainnya untuk membantu penutur asing mengetahui maksud dari tanda tersebut. Saya tidak melarang jika orang-orang menggunakan bahasa asing tapi harus tahu dimana, kapan menggunakan bahasa tersebut dan untuk tujuan apa. Jika alasan untuk belajar itu tidak jadi masalah. Saya jadi teringat ketika saya mengunjungi suatu negara di Timur Tengah, Saudi Arabia. Bahasa Inggris adalah bahasa internasional pikir saya. Namun, apa yang terjadi ketika sampai di sana? Mayoritas masyarakat di sana tidak begitu menguasai bahasa asing ini. Mereka masih berpegang teguh menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi, salut. Selain itu, di sana ada juga tanda-tanda, rambu dalam bahasa asing namun posisi bahasa Arab yang digunakan pada tanda-tanda tersebut berada di posisi awal baru kemudian diikuti oleh bahasa asing lainnya. Dari sana saya menyadari bahwa mereka benar-benar menghargai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka dibanding yang lain, dan ini sekaligus mengindikasikan bahwa mereka mempertahankan identitas mereka sebagai bangsa Arab. Hal ini terlihat seperti hal yang kecil namun sebenarnya masalah bahasa ini memiliki arti yang besar karena bahasa adalah identitas suatu bangsa. Kita boleh mempelajari bahasa asing tertentu untuk tujuan tertentu, misalnya saja kita mempelajari bahasa asing agar bisa berkomunikasi dengan para penutur asing lain, memudahkan kita berkomunikasi ketika kita mengunjungi suatu negara, dll.

Saya jadi teringat suatu kejadian yang saya alami beberapa waktu lalu. Saya suka merasa 'lucu' jika mendengar atau melihat orang yang menggunakan suatu bahasa di luar bahasa ibunya di negara yang bukan bahasa penutur asingnya dengan tujuan menambah nilai dirinya atau bahasa sekarang supaya dibilang gaul atau ingin 'membudayakan' bahasa tersebut. Suatu ketika saya, kakak, dan ibu saya pergi menghadiri suatu kajian di sebuah mesjid di Bandung. Saya duduk bersebelahan dengan ibu saya. Di ruangan tersebut memang padat sehingga menyulitkan orang untuk lalu-lalang. Kemudian, ada seorang perempuan yang ingin lewat di antara saya dan ibu saya. Perempuan tersebut kemudian mengatakan "afwan" ketika mau melewati kami. Saya dan ibu saya hanya diam saja tidak mengerti maksud perempuan tadi. Perempuan tadi pun mengulangi kata-katanya. Saya hanya tersenyum. Sampai akhirnya dia menggunakan bahasa tubuhnya untuk menunjukkan maksudnya tadi.
Saya heran mengapa perempuan tadi lebih cenderung menggunakan bahasa Arab ketimbang bahasa Indonesia atau bahasa Sunda yang merupakan bahasa ibunya orang-orang Bandung pada umumnya dan sudah jelas dimengerti oleh kami. Muncul banyak pertanyaan dalam otak saya. Saya yakin perempuan tadi adalah orang Indonesia bukan orang Arab karena dia bisa berbicara dengan bahasa Indonesia dengan fasih tapi mengapa untuk mengucapkan "permisi", "punten" atau "maaf" di lingkungan yang mayoritas penutur asli bahasa Indonesia dan Sunda dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas-jelas tidak dimengerti.
Dari situ saya jadi penasaran mencari arti kata "afwan", dan apa hasilnya? Sungguh mengejutkan. Menurut hasil pencarian yang saya lakukan ternyata kata "afwan" digunakan ketika ada seseorang yang mengucapkan terima kasih kepada kita sebagai balasannya.
Ilustrasi:
A: "syukron" (terima kasih)
B: "afwan" (sbg ungkapkan terima kasih kembali)
Saya jadi semakin heran mengapa dia menggunakan bahasa yang bukan penutur bahasa aslinya di tempat bukan tempat penutur bahasa aslinya dan  secara pemakaian salah bukan pada ungkapan yang seharusnya. Apa yang sebenarnya ingin ia tunjukkan? Apakah ia ingin memperlihatkan identitas dia? bahwa dia sudah "kearab-arab'an"? Atuhlah..
Nah, fenomena bahasa yang sering terjadi saat ini asal "comot" tanpa ada dasar pengetahuan didalamnya ini yang kadang membuat saya bingung, dan heran mengapa bisa mereka "menggunakan" bahasa yang memang asing dari bahasa ibunya tanpa "mempelajari"nya terlebih dahulu. 😰
Memang membuat kesalahan dalam berbahasa tidak mengapa karena membuat kesalahan adalah salah satu proses pembelajaran. Namun, baiknya kita belajar secara menyeluruh mengenai bahasa yang kita sedang pelajari sebab bahasa mengandung 'budaya' tersendiri yang harus kita tahu agar tidak salah ketika kita mengekspresikan diri melalui bahasa tersebut dan ketika kita mulai menuturkan bahasa asing kita memiliki pengetahuan yang baik mengenai bahasa tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Representation of White People in Two Maya Angelou's Novels 'I Know Why the Cage Bird Sings' and 'Gather Together in My Name'

Introduction   An autobiography is a book about the life of a person that written by that person (Wikipedia). I Know Why the Cage Bird Sings and Gather Together in My Name are the autobiographies of Maya Angelou. According to Microsoft Encarta (2009), Maya Angelou, is an American author, poet, performer, and civil rights activist, best known for portrayals of strong African American women in her writings. Characteristically using a first-person point of view and the rhythms of folk song, she writes of the African American woman’s coming of age, of struggles with discrimination, of the African and West Indian cultural heritage, and of the acceptance of the past. I Know Why the Cage Bird Sings is the first from six of her autobiographies. The title I Know Why the Caged Bird Sings is one of the stanzas from the Afro-American poet, Paul Laurence Dunbar. Maya used this title because the title symbolizes the black people. The Cage symbolizes the limitation and the Bird symbolizes

Called This as My First Experience

How does it feel when you do a job that you really like? It's fun, right?! Yeah, that's what I feel right now. Recently, I got a new job it has been a couple months. Still, teaching as an English teacher but the students that I was taught were difference. My students this time were Chinese. Yeah, for the first time when I started to teach them I was so nervous because we had a different culture. I had to adapt with them, yeah I  used my first week to make some approaches with them. Digging up what they liked, finding out the materials that they needed etc. Because that was my probation week. Hehe. You know that teaching kids we have to keep their good moods in order they can keep following our lesson. If we destroy their good moods, we will face some obstacles and we have to make their moods come back soon. Well, being a teacher is not easy, we have to make our students understand what we have been already taught and, for the bonus, they can earn the perfect score. This is my

Tertambat Hati di Tanah Suci (Bagian 3)

Hari ketiga di Makkah Al Mukarramah.. Tak terasa sudah menginjak hari ketiga. Hari ini agenda kami adalah mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Makkah, yaitu Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Arafah, Muzdalifah, Mina, Jabal Noor (Gua Hira), Kuburan Ma'la, dan terakhir Museum Haramain. Pada saat berziarah jangan lupa untuk membawa kamera karena pasti akan banyak tempat menarik yang bisa diabadikan. Jadi sebelum berangkat siapkan kamera dalam tas ya dan pastikan baterai dalam kondisi penuh terisi. Setelah sarapan pagi, kami pun bersiap untuk pergi berziarah. Kami menggunakan bus yang telah disiapkan oleh pihak travel. Bus yang kami gunakan adalah Farok Jamil Khogeer . Bus di sini, menurut saya, cukup berbeda dengan bus yang ada di Indonesia. Dari segi ukuran, bus di Arab Saudi sepertinya berukuran lebih besar dari pada bus di Indonesia. Ketika saya masuk ke dalam bus, saya kaget karena mendengar sang supir sedang berbicara menggunakan bahasa Sunda. Postur tubuhnya yang menyerupai orang-